Arena "Konflik" Itu Bernama Kampanye

Arena "Konflik" Itu Bernama Kampanye

Pada beberapa kesempatan, baik itu pada forum seminar, wawancara media, maupun pada forum-forum internal Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari sering menyampaikan pernyataan yang cukup menarik, salah satu pernyataannya yang sering diulang-ulangnya yaitu "Pemilu maupun Pilkada merupakan arena konflik yang dianggap legal dan sah untuk merebut dan/atau mempertahankan kekuasaan".

Pernyataan itu tentunya dimaknai secara positif, bukan dan jangan sampai dimaknai negatif sebagaimana kita sering memaknai kata konflik selama ini sebab memandang konflik, maka yang pertama kali terbersit di kepala kita atau yang menjadi "top of mind" kita adalah pertentangan, pertikaian yang memecah bela struktur sosial dan menghilangkan harapan hidup yang bahagia.

Arena "Konflik" yang dinyatakan oleh Hasyim Asy'ari tersebut, tentu dari perspektif sosial politik atas pemaknaan daripada undang-undang yang mengatur tentang pemilu (UU No 7 Tahun 2017) dan pilkada (UU No 10 Tahun 2016), karena memang pada dasarnya dan garis besar dari undang-undang tersebut, mengatur tantang perbedaan, pertentangan, dan pertikaian antara kelompok dan/atau golongan.

Yaa, undang-undang itu mengesahkan dan melegalkan pertentangan dan/atau pertikaian ide serta gagasan dari peserta pemilu/pilkada. Itulah yang membuat arena "Konflik" tersebut menjadi positif, sebab semua yang terlibat menjadi peserta akan bertarung dengan jurus atau metodenya masing-masing dalam meyakinkan masyarakat umum sebagai pemilih yang nantinya akan membuat keputusan tentang siapa yang memenangkan pertarungan tersebut untuk menjadi pemimpin, penyambung lidah mereka agar pengaturan kehidupannya sesuai dengan apa yang mereka (masyarakat) butuhkan.

Lalu jika ditarik kesimpulan terhadap semua tahapan dalam penyelenggaraan pemilu maupun pilkada, yang menjadi tempat pertarungan ide dan gagasan tersebut sebagai arena utama "Konflik"-nya adalah pada tahapan kampanye. Tahapan yang dibuat oleh regulator kepada peserta pemilu/pilkada untuk mempertentangkan ide dan gagasannya.

Pada tahap itu, tidak jarang bahkan menjadi normal antara peserta yang satu dengan peserta lainnya saling bertikai dengan sanggahannya masing-masing terhadap setiap ide dan gagasan yang "lawan"-nya utarakan kepada masyarakat (pemilih) sebagai bagian dari janji politik peserta pemilu/pilkada agar masyarakat terpanggil untuk bersepakat memilihnya dihari penentuan keputusan hasil pertarungan yang dalam tahapan pemilu/pilkada disebut hari pencoblosan atau pemungutan suara.

Jika memahami itu, maka kelak kita pasti tidak akan heran saat masa kampanye itu tiba. Kita tidak akan heran jika perdebatan ide dan gagasan semakin menguat, namun tetap jika masa-masa menguatnya perdebatan atau pertikaian itu, kita harus tetap waspada agar arena "Konflik" ide dan gagasan tersebut tidak beralih ke sisi konflik secara fisik atau menjurus kepada hal-hal negatif seperti dengan saling menjelekkan atau menyerang pribadi peserta pemilu/pilkada.

Untuk memastikan hal itu tidak terjadi, maka penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) dituntut untuk tetap bekerja secara berhati-hati dengan konsekuen terhadap tugas, kewajiban, dan wewenangnya masing-masing sesuai asasnya, yaitu lansung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Jika hal demikian terlaksana dengan baik, maka sudah barang tentu, semua pihak akan yakin dan menjadi tidak was-was bahwa pertarungan ide dan gagasan itu akan menjadi pertarungan fisik serta menjurus ke hal-hal negatif yang bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara karena sebagaimana esensinya, pemilu dan/atau pilkada itu dilaksanakan sebagai sarana integrasi bangsa.

Bandung (Jawa Barat), 10 November 2023.

Dr. Suardi Mansing, S.Pd.I., M.Pd.I.

(Anggota KPU Kab. Gowa/Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM)

Keterangan: Tulisan ini dibuat saat Bimbingan Teknis Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye Pemilu 2024 yang diselenggarakan oleh KPU RI di Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 263 Kali.