Opini

421

Badan Adhoc: Leader dan Pioneer Pemilihan

Badan Adhoc: Leader dan Pioneer Pemilihan Badan adhoc penyelenggara pemilihan sering disebut sebagai ujung tombak KPU dalam memastikan penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan berjalan lancar dan sukses sesuai jadwal dan kualitas yang diamanahkan oleh undang-undang, lansung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun demikian, belum banyak yang mampu memahami posisi badan adhoc itu sebagai ujung tombak, baik itu secara literate maupun subtantif sehingga penting dibangun diskursus terkait tentang itu, setidaknya lewat media naratif sebagai pemantik wacana cakrawala pikir. Badan adhoc disebut sebagai ujung tombak karena peran strategisnya dalam penyelenggaraan pemilihan yang mewakili kewenangan KPU disetiap tingkatannya masing-masing, mulai dari kecamatan, desa/kelurahan, hingga di TPS. Kewenangan besar itu dalam mewakili KPU membuat badan adhoc sebagai leader diwilayah kerjanya masing-masing, namun dilain sisi pula sebagai pioneer untuk beberapa tugas tahapan, mulai dari pemuktahiran data pemilih, kampanye, distribusi logistik, pemungutan dan penghitungan suara, keamanan kotak suara, serta rekapitulasi perolehan suara. Kewenangan yang besar itu membuat badan adhoc bagai telur diujung tanduk, karena dikelilingi kubangan godaan non ideologis yang sebagian orang menyebutnya sangat menggiurkan dengan pertaruhan integritas sebagai prinsip penyelenggaraan pemilihan yang secara detail diinternalisasi kedalam kode etik dan kode atau pedoman perilaku penyelenggara, seperti berlaku jujur, mandiri, adil, dan akuntabel. Dilain sisi, insentif atau honorarium badan adhoc yang terbilang kecil jika dibandingkan dengan kewenangan dan posisi strategisnya dalam tahapan penyelenggaraan, sehingga memang dibutuhkan jiwa pengabdian serta loyalitas yang tinggi dari badan adhoc. Jika tidak, maka berarti marwah KPU sedang dipertaruhkan dalam gelanggang opini negatif masyarakat luas dan harus bersiap dengan kondisi menurunnya kepercayaan publik terhadap KPU, keraguan masyarakat terhadap KPU dalam menyelenggarakan pemilihan yang berbudaya, bermartabat, jujur dan adil. Hal tersebut jika terjadi, maka bisa saja menjadi snowball yang menghancurkan ambisi KPU menjadi organisasi modern, akuntabel, transparan, dan terpercaya dimata publik dalam menyelenggarakan pemilihan, untuk hari ini dan dimasa yang akan datang. Selain visi dan misi menjadikan KPU sebagai organisasi yang modern, sebagai lembaga layanan masyarakat yang profesional, serta alasan-alasan krusial sebagaimana paparan-paparan diatas, maka upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dan pematangan personal serta doktrin pengabdian kenegaraan wajib menjadi agenda utama disela-sela penyelenggaraan tahapan pemilihan, dilaksanakan secara rutin dan berkelanjutan, baik melalui forum formal maupun non formal, dan informal secara mandiri oleh setiap penyelenggara ditingkatan badan adhoc. Bukan sesuatu hal yang mudah untuk mewujudkan itu, perlu keseriusan dan kesadaran personal melalui program pendidikan terencana oleh divisi sumberdaya manusia KPU Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab mutlak dalam pembentukan dan pembinaan badan adhoc. Pendidikan terencana itu setidaknya memuat tiga input yaitu integritas, profesionalitas, dan loyalitas, untuk output pencapaian visi dan misi KPU, bukan hanya secara nasional tetapi juga pencapaian target spesifik oleh KPU ditingkat Kabupaten/Kota yang masing-masing berdasarkan pada upaya perbaikan sejarah penyelenggaraan pemilu dan pemilihan diwilayah kerjanya masing-masing. Olehnya karena itu, dengan waktu yang cukup singkat untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 yang tahapan rekrutmen badan adhocnya bersambung dengan tahapan penyelenggaraan yang rentang waktunya hanya praktis selama 6 bulan, dari bulan mei hingga pemungutan dan penghitungan suara di bulan november serta rekapitulasi diawal bulan desember, membuat divisi sumberdaya manusia betul-betul harus bekerja keras menciptakan badan adhoc yang kapabel sesuai spesifikasi kebutuhan KPU. Tidak ada waktu untuk rehat, tidak ada masa tunggu, yang ada adalah penetapan input berdasarkan output, kemudian membuat rencana pendidikan berkelanjutan, lalu bergerak mewujudkan itu ditengah himpitan tahapan dan kewajiban kerja rutin yang harus dipenuhi. Sangat dipahami bahwa hal tersebut menguras tenaga dan pikiran, tetapi itulah resiko keputusan menjadi mengampu divisi sumberdaya manusia yang harus dipertanggungjawabkan dengan sepenuh hati dan keikhlasan dalam pengabdian kepada bangsa dan negara tercinta yang telah mempercayakan KPU sebagai wadah pekerja demokrasi dengan tugas sebagai corong negara dalam suksesi peralihan kepemimpinan. Semoga sumpah janji dibawah kitab suci saat pelantikan sebagai penyelenggara, senantiasa menjadi pengingat dan croos line dalam bekerja agar tetap meneguhkan integritas, bekerja secara profesional, dibawah sikap loyal terhadap visi dan misi yang telah ditetapkan oleh pimpinan Komisi Pemilihan Umum.   Tanjung Bira (Bulukumba), 29 Mei 2024 Dr. Suardi Mansing, M.Pd.I. Komisioner KPU Kabupaten Gowa (Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas, dan SDM) Catatan: Ditulis disela-sela Rapat Kerja Evaluasi Pembentukan Badan Adhoc (PPK dan PPS) Pilkada 2024 yang diselenggarakan oleh KPU Provinsi Sulawesi Selatan.


Selengkapnya
291

PARAGA: Semangat Pilkada Gowa 2024

PARAGA: Semangat Pilkada Gowa 2024 Maskot bukanlah sekedar gambar atau karakter tertentu yang coba divisualisasikan tanpa semangat atau nilai apapun, melainkan salah satu elemen penting dalam upaya membangun hubungan positif dengan masyarakat luas serta dalam upaya memperkuat identitas atau citra suatu entitas. Itulah mengapa, maskot selalu dijadikan representasi visual untuk mewakili semangat, nilai, dan tujuan dari suatu kegiatan, acara, ataupun organisasi, karena didalam maskotlah, falsafah itu menyatu tanpa perlu diurai sedemikian rupa. Itulah sehingga Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik untuk pemilihan umum maupun untuk pemilihan kepala daerah, seolah mewajibkan diri untuk memvisualisasikan semangatnya melalui maskot, tentu bukan hanya sekedar agar disebut keren dengan melihat aspek kreatifitasnya, tetapi menjadi strategi yang bertujuan untuk memperkuat proses demokrasi yang akan diselenggarakan, untuk pelibatan masyarakat, serta untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya proses pemilihan dalam memilih pemimpin. Setidaknya, dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada), maskot menjadi alat untuk: pertama, memperkuat identitas pemilihan (Pilkada) karena maskot menjadi identitas visual yang khas dan mudah dikenali untuk pemilihan kepala daerah. Hal tersebut akan membantu masyarakat mampu membedakan antara pemilu dan pilkada, antara pilkada gowa misalnya dengan pilkada didaerah lain atau paling sedikitnya antara pilkada dengan acara atau kegiatan lain. Kedua, untuk mengedukasi dan memasyarakatkan pemilihan atau pilkada karena maskot mewakili semangat, sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk mengedukasi masyarakat tentang proses pemilihan kepala daerah, hak pilih, dan pentingnya partisipasi dalam demokrasi. Itulah kenapa dalam memilih maskot, penting untuk memperhatikan aspek keramahannya dan kemenarikannya, pesan-pesan tentang pemilu dapat disampaikan dengan lebih mudah dan menyenangkan jika aspek itu terpenuhi. Ketiga, untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat karena dapat menjadi simbol yang mengundang keterlibatan masyarakat dalam proses pemilihan kepala daerah. Masyarakat dapat merasa lebih terhubung dan bersemangat untuk ikut serta dalam pemilihan ketika mereka memiliki ikon yang mewakili acara tersebut. Keempat, untuk meningkatkan citra pemilihan (Pilkada) karena maskot yang menarik dan positif dapat membantu meningkatkan citra pemilihan dalam masyarakat. Hal ini dapat menciptakan suasana yang lebih optimis dan menyenangkan seputar pemilihan kepala daerah, serta mengurangi ketegangan atau kekhawatiran yang mungkin ada dan mungkin terjadi. Kesadaran terkait alasan-alasan tersebut, membuat KPU Kabupaten Gowa memandang urgen pemilihan maskot yang akan digunakan dalam perhelatan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Gowa tahun 2024. Tidak sekedarnya dan yang penting menarik dipandang mata, melainkan sesuai dengan kebutuhan dinamika kewilayahan, kesejarahan, tujuan, semangat, dan lainnya, sehingga penting untuk membuka ruang pastisipasi masyarakat dalam pemilihan maskot. Itulah sehingga semua ide dalam bentuk karya yang ditawarkan oleh masyarakat disaring secara teliti oleh para penilai dari kalangan akademik, praktisi, budayawan, media, dan eks penyelenggara pilkada yang kemudian memilih untuk ditetapkan satu diantaranya, yaitu PARAGA (Pilkada Rakyat Gowa). Paraga sendiri jika melihat sumbernya, sebagaimana yang tertera dalam lontara, merupakan pagelaran seni untuk menghibur masyarakat dan para tokoh dalam prosesi acara pelantikan/pengukuhan raja. Sejalan dengan semangat itu dan seperti yang kita ketahui bahwa pemilihan merupakan pesta demokrasi, maka dipilihnya PARAGA (Pilkada Rakyat Gowa) sebagai maskot Pilkada Gowa 2024, itu dimaksudkan agar Pilkada tahun 2024 di Kabupaten Gowa dapat dijadikan sebagai ajang ataupun sarana bergembira, bersenang-senang, menghibur diri bagi segenap masyarakat Kabupaten Gowa dalam memilih pemimpinnya, memilih Bupati dan Wakil Bupati untuk lima tahun kedepan. Dalam filosofi Paraga, tidak dikenal pertandingan, tidak dikenal istilah lawan, yang ada dalam Paraga, semuanya kawan yang saling uji/adu ketangkasan dalam koridor persaudaraan. Begitulah harapan dan semangat yang hendak dibangun oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Gowa pada Pilkada 2024, bahwa semua tokoh yang maju menjadi calon Bupati dan calon Wakil Bupati adalah saudara dan untuk menjadi yang terpilih, bukanlah melalui semangat tanding, melainkan melalui semangat adu/uji ketangkasan. Siapa yang paling tangkas dalam memainkan raga, maka dialah yang akan dipilih oleh rakyat, dan keluar sebagai yang terpilih. Gowa, 10 Mei 2024. Dr. Suardi Mansing. Komisioner KPU Gowa (Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas, & SDM) Catatan: Ditulis disela-sela persiapan peluncuran Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 dikantor KPU Kabupaten Gowa.


Selengkapnya
199

Memperjuangkan Kemerdekaan dan Derajat Perempuan; Belajar dari Kartini

Memperjuangkan Kemerdekaan dan Derajat Perempuan; Belajar dari Kartini Oleh: Hasnawati H, S.Pd., M.Pd (Koordinator Divisi Perencanaan, Data dan Informasi KPU Gowa) Pada 21 April 1879 yang lalu, Raden Ajeng Kartini lahir ke dunia. Saat itu, tak seorang pun mengira bahwa perempuan ini akan menjadi tokoh penting dalam gerakan emansipasi perempuan di Indonesia. Saking pentingya perjalanan intelektual dan perjuangan Kartini, sosoknya selalu dikenang setiap 21 April sebagai Hari Kartini. Dia menjadi simbol atas perjalanan panjang perempuan Indonesia dalam meraih kemerdekaan dan meninggikan derajatnya. Tentu tak semua orang senang dengan sosok Kartini. Sebagian beranggapan bahwa Kartini tidak pantas diangkat sebagai Pahlawan Nasional, karena selama hidupnya tak pernah ikut serta mengangkat senjata untuk melawan penjajahan. Ada juga yang menganggap memperingati Hari Kartini sebagai refleksi atas emansipasi perempuan adalah sesuatu yang berlebihan. Sebab, tak sedikit pihak yang memandang Kartini tak benar-benar melawan budaya patriarki, mengingat dia sendiri rela dinikahi oleh seorang bupati beristri tiga. Padahal, dalam surat-suratnya, Kartini selalu mengkritik praktik poligami. Bagi saya, pandangan-pandangan miring seperti itu terlalu menyederhanakan makna perjuangan dan emansipasi perempuan. Kartini memang tak pernah mengangkat pedang, senapan, atau bambu runcing. Tapi pena dan kertas yang selalu digenggamnya di dalam kamar pengap dan terkunci, berkontribusi dalam menyebarkan pemikiran kritisnya tentang budaya patriarki Jawa dan penyalahgunaan agama oleh kaum lelaki untuk mengekang perempuan. Melalui pena dan kertas, Kartini menyuarakan pentingnya memperjuangkan hak-hak pendidikan kaum perempuan pribumi, yang di masa itu tak pernah menjadi prioritas oleh sistem kebudayaan masyarakat feodal. Kartini memang  tidak mengorbankan darah dan keringat, tapi ia menyumbangkan sejumlah pemikiran kritis dan berani, yang pada masanya dianggap sangat revolusioner. Dimanapun revolusi terjadi, pasti dimulai dengan revolusi pemikiran. Revolusi Prancis didorong oleh ide-ide pencerahan dan republikanisme, sedangkan kemerdekaan Tiongkok dipengaruhi oleh ide-ide demokrasi yang dibawa Dr. Sun Yat-sen. Indonesia juga sulit merdeka tanpa pemikiran inspiratif dari tokoh-tokoh seperti Soekarno, Bung Hatta, Tjokroaminoto, Tan Malaka, Muhammad Yamin, dan lainnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kartini. Gagasan-gagasannya sangat menginspirasi gerakan emansipasi perempuan di masa mendatang. Contohnya adalah Sujatin Kartowijono, seorang tokoh perempuan Indonesia pada awal abad ke-20. Dia adalah satu dari banyak perempuan yang sangat terkesan dan terinspirasi oleh pemikiran progresif Kartini, terutama dalam konteks emansipasi wanita dan perjuangan hak-hak perempuan. Setelah mempelajari surat-surat Kartini, Sujatin mulai menyadari betapa pentingnya peran perempuan dalam masyarakat dan politik. Dengan berlandaskan pada pemikiran Kartini, Sujatin kemudian menggagas ide untuk mengadakan Kongres Perempuan Indonesia pertama. Tujuan utama dari kongres ini adalah untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak perempuan, memperjuangkan kesetaraan gender, dan menetapkan agenda perjuangan perempuan di Indonesia. Pada masa hidup Sujatin, surat-surat Kartini sudah mulai dikenal oleh masyarakat luas. Sebab, setelah Kartini meninggal, J.H. Abendanon menerbitkan surat-surat yang ditulis Kartini untuk teman-teman korespondennya di Belanda dengan judul "Door Duisternis tot Licht" (Habis Gelap Teritlah Terang) pada tahun 1911. Dari sinilah pengaruh pemikiran Kartini tersebar luas dan menginspirasi banyak orang. Pengaruh Kartini tidak hanya dirasakan oleh Sujatin, tapi juga oleh masyarakat Belanda. Penelitian sejarah yang dilakukan Hapsari (2017) menunjukkan, setelah buku tersebut terbit,  masyarakat Belanda menyambutnya dengan baik dan mulai menyimpan simpati terhadap kehidupan perempuan Jawa. Hal ini memunculkan ide untuk mendirikan yayasan pendidikan bagi perempuan pribumi. Ratu Belanda memberi tanggapan positif terhadap ide tersebut dengan menugaskan Abendanon untuk mengorganisir pendirian yayasan pendidikan bagi perempuan pribumi di Hindia Belanda, yang  kemudian bernama Yayasan Kartini (Kartini Vereeniging). Yayasan ini didirikan dengan tujuan utama membuka sekolah-sekolah bagi perempuan pribumi di Hindia Belanda sebagai bentuk penghormatan terhadap Kartini, sosok perempuan yang berjuang keras untuk pendidikan dan emansipasi perempuan. Penjelasan tersebut menujukkan betapa berpengaruhnya pemikiran Kartini bagi perempuan. Jadi, menganggap bahwa Kartini tidak memiliki kontribusi apa-apa dalam diskursus keindonesiaan kita adalah kesalahan besar. Selain sebagai pahlawan nasional, Kartini adalah sosok yang pantas disebut sebagai zeitgeist. Ia mewakili semangat zaman dengan membawa iklim intelektual, moral, dan budaya Indonesia lebih maju lagi. Ia hadir dengan memperjuangkan bangsanya lewat gagasan, agar keluar dari tradisi yang membatasi. Ia hadir dengan semangat melawan stagnasi, ketertinggalan, dan penindasan. Pemikiran-pemikiran tentang kemajuan, kesetaraan, keadilan gender, dan kebebasan— yang lahir dari luka dan penderitaan —terasa kuat dalam tulisan-tulisannya, dan turut mendorong orang-orang untuk memodernisasi pemikiran dan budaya perempuan pribumi. Kartini membawa harapan bagi kemajuan perempuan. Di balik potret gelap Indonesia di zamannya, Kartini membawa secercah cahaya yang bakal menyinari bangsa jajahan itu: semangat aufklarung, semangat modernitas, khususnya untuk kaum perempuan. Di Hari Kartini ini, setidaknya kita bisa memetik dua etos dari pemikir feminis awal Indonesia itu. Pertama, pentingya pendidikan untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Meski saat ini perempuan sudah lebih leluasa dalam mengenyam pendidikan yang tinggi, namun tak sedikit dari masyarakat kita masih menganggap pendidikan sebagai hal yang tidak penting bagi kaum perempuan. Kartini mengajarkan kita mengenai pentingnya pendidikan untuk mengangkat derajat kamu perempuan. Agar perempuan dapat lebih mandiri, berdikari, dan lebih maju lagi baik di bidang ekonomi, sopial, politik, dan budaya. Kedua, melawan penindasan dan pengekangan terhadap perempuan. Akhir-akhir kita masih sering menyaksikan perempuan mengalami kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi. Di bidang ekonomi, perempuan masih sering mengalami diskriminasi di lingkungan pekerjaannya. Di bidang politik, perempuan masih sering dijadikan figur pinggiran dan sebatas pelengkap dalam kontestasi Pemilu. Kartini mengajarkan kaum perempuan agar selalu gigih memperjuangkan hak-haknya. Kita harus punya cita-cita untuk mengakhiri penderitaan perempuan dari budaya masyarakat yang patriarkis. Karena patriarkisme hanya akan menghambat kemajuan, kebebasan, dan merdeka perempuan.


Selengkapnya
263

Arena "Konflik" Itu Bernama Kampanye

Arena "Konflik" Itu Bernama Kampanye Pada beberapa kesempatan, baik itu pada forum seminar, wawancara media, maupun pada forum-forum internal Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari sering menyampaikan pernyataan yang cukup menarik, salah satu pernyataannya yang sering diulang-ulangnya yaitu "Pemilu maupun Pilkada merupakan arena konflik yang dianggap legal dan sah untuk merebut dan/atau mempertahankan kekuasaan". Pernyataan itu tentunya dimaknai secara positif, bukan dan jangan sampai dimaknai negatif sebagaimana kita sering memaknai kata konflik selama ini sebab memandang konflik, maka yang pertama kali terbersit di kepala kita atau yang menjadi "top of mind" kita adalah pertentangan, pertikaian yang memecah bela struktur sosial dan menghilangkan harapan hidup yang bahagia. Arena "Konflik" yang dinyatakan oleh Hasyim Asy'ari tersebut, tentu dari perspektif sosial politik atas pemaknaan daripada undang-undang yang mengatur tentang pemilu (UU No 7 Tahun 2017) dan pilkada (UU No 10 Tahun 2016), karena memang pada dasarnya dan garis besar dari undang-undang tersebut, mengatur tantang perbedaan, pertentangan, dan pertikaian antara kelompok dan/atau golongan. Yaa, undang-undang itu mengesahkan dan melegalkan pertentangan dan/atau pertikaian ide serta gagasan dari peserta pemilu/pilkada. Itulah yang membuat arena "Konflik" tersebut menjadi positif, sebab semua yang terlibat menjadi peserta akan bertarung dengan jurus atau metodenya masing-masing dalam meyakinkan masyarakat umum sebagai pemilih yang nantinya akan membuat keputusan tentang siapa yang memenangkan pertarungan tersebut untuk menjadi pemimpin, penyambung lidah mereka agar pengaturan kehidupannya sesuai dengan apa yang mereka (masyarakat) butuhkan. Lalu jika ditarik kesimpulan terhadap semua tahapan dalam penyelenggaraan pemilu maupun pilkada, yang menjadi tempat pertarungan ide dan gagasan tersebut sebagai arena utama "Konflik"-nya adalah pada tahapan kampanye. Tahapan yang dibuat oleh regulator kepada peserta pemilu/pilkada untuk mempertentangkan ide dan gagasannya. Pada tahap itu, tidak jarang bahkan menjadi normal antara peserta yang satu dengan peserta lainnya saling bertikai dengan sanggahannya masing-masing terhadap setiap ide dan gagasan yang "lawan"-nya utarakan kepada masyarakat (pemilih) sebagai bagian dari janji politik peserta pemilu/pilkada agar masyarakat terpanggil untuk bersepakat memilihnya dihari penentuan keputusan hasil pertarungan yang dalam tahapan pemilu/pilkada disebut hari pencoblosan atau pemungutan suara. Jika memahami itu, maka kelak kita pasti tidak akan heran saat masa kampanye itu tiba. Kita tidak akan heran jika perdebatan ide dan gagasan semakin menguat, namun tetap jika masa-masa menguatnya perdebatan atau pertikaian itu, kita harus tetap waspada agar arena "Konflik" ide dan gagasan tersebut tidak beralih ke sisi konflik secara fisik atau menjurus kepada hal-hal negatif seperti dengan saling menjelekkan atau menyerang pribadi peserta pemilu/pilkada. Untuk memastikan hal itu tidak terjadi, maka penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) dituntut untuk tetap bekerja secara berhati-hati dengan konsekuen terhadap tugas, kewajiban, dan wewenangnya masing-masing sesuai asasnya, yaitu lansung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Jika hal demikian terlaksana dengan baik, maka sudah barang tentu, semua pihak akan yakin dan menjadi tidak was-was bahwa pertarungan ide dan gagasan itu akan menjadi pertarungan fisik serta menjurus ke hal-hal negatif yang bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara karena sebagaimana esensinya, pemilu dan/atau pilkada itu dilaksanakan sebagai sarana integrasi bangsa. Bandung (Jawa Barat), 10 November 2023. Dr. Suardi Mansing, S.Pd.I., M.Pd.I. (Anggota KPU Kab. Gowa/Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM) Keterangan: Tulisan ini dibuat saat Bimbingan Teknis Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye Pemilu 2024 yang diselenggarakan oleh KPU RI di Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat.


Selengkapnya
267

Divisi Sosdiklih Parmas Sebagai Etalase Kinerja KPU

Divisi Sosdiklih Parmas Sebagai Etalase Kinerja KPU Ibarat sebuah toko yang wajib memiliki etalase untuk meransang dan menarik siapa pun yang melihatnya untuk membeli produk-produknya yang tersedia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tentu memiliki wadah kerja tersendiri yang mengampu etalase produk-produk layanannya melalui divisi sosialisasi pendidikan pemilih dan partisipasi masyarakat. Lahirnya divisi Sosdiklih Parmas tersebut menjadi satu divisi yang wajib melekat pada KPU sehingga hampir di semua tingkatan penyelenggara di internal KPU memiliki pengampu tersendiri, mulai dari tingkat KPU RI hingga ditingkatan adhoc pada setiap desa/kelurahan. Hal tersebut tentunya karena sifat dari KPU secara kelembagaan yang merupakan lembaga layanan publik dengan fokus produksi jasa layanan kepemiluan. Oleh karena divisi Sosdiklih Parmas menjadi etalase KPU dalam hal layanan, maka siapapun individu yang ditunjuk, diberikan amanah untuk mengampu divisi tersebut sebagai ketua/koordinator divisi, maka dia harus sadar diri bahwa dirinyalah dekorator Komisi Pemilihan Umum yang bertugas menata etalase dari produk-produk jasa layanan yang diproduksi agar masyarakat umum yakin dan percaya bahwa kinerja KPU dalam penyelenggaraan pemilu telah sesuai dengan harapan, kebutuhan, dan keinginan masyarakat, yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Tugas itu tentu bukanlah hal yang mudah, mengapa demikian? Karena meyakinkan publik bukan hanya sekedar menyampaikan apa yang telah dan yang akan dilakukan namun jauh lebih dari itu, selain harus lengkap, tentu harus dikemas secara menarik diatas nilai-nilai integritas personal dekorator hingga personil KPU lainnya termasuk hingga jajaran badan adhoc. Belum lagi dinamika klasifikasi dan segmentasi pemilih yang sangat beragam sehingga membutuhkan rancangan publik relasi yang sangat matang, mulai pertimbangan tools modernism dan tradisionalistik karena semua kalangan harus terjangkau dan yakin dengan kinerja KPU dalam menyelenggarakan pemilu. Nilai-nilai filosofis demikian harus sampai pada tingkatan adhoc (PPK-PPS) karena dialah tingkatan penyelenggaraan pemilu oleh KPU yang bersentuhan langsung dengan grassroot sehingga jauh lebih paham dengan kondisi sektoral masyarakat di wilayah kerjanya masing-masing dengan ruang yang lebih kecil ketimbang tingkatan diatasnya, sebutlah KPU Kabupaten/Kota atau KPU Provinsi, sehingga tugas mereka hanya manajer yang bertugas melakukan perencanaan, pengendalian, dan evaluasi. Jika secara normatif organik berjalan sesuai alur organisasi modern, maka kerja-kerja kehumasan serta pengelolaan informasi dan dokumentasi dibawah tanggungjawab divisi Sosdiklih Parmas, maka informasi-informasi penting, bahkan informasi diluar dari tahapan penyelenggaraan, pasti akan tersampaikan dengan baik pada publik yang membuat capaian tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPU akan semakin meningkat yang hari ini masuk tiga besar dan berada diatas lembaga negara/pemerintah lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Konstitusi sesuai rilis dari lembaga survey Populi Center diawal bulan Juni tahun 2023 kemarin. Namun meskipun sedemikian beratnya tugas kehumasan dan pengelolaan informasi tersebut, sebagai bentuk komitmen terhadap negara atas apa yang telah diikrarkan lewat sumpah janji, maka harus selalu diyakini dengan kesempatan-kesempatan yang bijak diberikan kepada Bakohumas dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk menunjukkan kinerja terbaiknya, begitupun dengan pengampu divisi Sosdiklih Parmas ditingkat PPK maupun PPS karena harus dipahami bahwa mereka adalah pekerja lintas batas divisi sebab wajib mengetahui seluruh kegiatan divisi untuk diinformasikan secara bijak dan menarik kepada masyarakat. Tangerang (Banten), 25 September 2023. Dr. Suardi M, S.Pd.I., M.Pd.I. (Anggota KPU Kab. Gowa/Koordinator Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM) Keterangan: Tulisan ini dibuat saat Rapat Koordinasi Nasional Kehumasan dan PPID yang diselenggarakan oleh KPU RI di Kota Tangerang, Provinsi Banten.


Selengkapnya
114

Kampanye: Ruang Kegembiraan Di Helatan Pesta Demokrasi

Kampanye: Ruang Kegembiraan Di Helatan Pesta Demokrasi Pemilihan umum dan pemilihan (Pilkada) selama ini selalu dimaknai sebagai pesta kenegaraan dan kebangsaan bagi seluruh warga negara. Pemaknaan itu disepakati sebagai sebuah harapan yang harus diwujudkan pada setiap kali pemilu dan pemilihan dihelat secara periodik, 5 tahun sekali. Pertanyaan kritisnya, apakah pemaknaan itu sudah terwujud secara faktual pada sepanjang catatan sejarah penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan yang selama ini sudah berkali-kali dihelat?, Jawaban kita semua tentu berbeda-beda karena masing-masing mengungkap narasi dari sisi pandang yang juga berbeda, tapi yang pastinya, tidak jarang kita berkonklusi bahwa helatan pemilu dan pemilihan itu sukses jika berlangsung damai atau tanpa riak-riak atau tanpa masalah-masalah dilapangan yang bisa berujung konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat. Jika seandainya konklusi bahwa pemilu yang damai itu adalah ukuran kesuksesan penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan semata, lalu bagaimana dengan kenyataan bahwa pemilu adalah pesta demokrasi, karena selayaknya sebuah pesta, maka pemilu dan pemilihan hanya dianggap sukses apabila mampu memproduksi dan mendelivery kebahagiaan kepada segenap komponen yang terlibat dalam pesta tersebut. Dinamika pemikiran terkait pemaknaan perwujudan pemilu dan pemilihan yang sukses itu biarlah menjadi khazanah ilmu pengetahuan dalam rangka perbaikan kualitas demokrasi secara konseptual dan praktikal kedepan, karena saat ini, penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dituntut kecepatan dan ketepatan gerak menuju masa kampanye sesuai dengan schedule yang ada tanpa menimbulkan tuduhan-tuduhan sinis yang berpotensi mengganggu tahapan pemilu serentak tahun 2024. Masa kampanye yang tinggal menghitung hari tentu diharapkan menjadi sarana kegembiraan bagi masyarakat, sarana berkumpul untuk mengintegrasikan visi, misi dan tujuan kenegaraan serta kebangsaan, selain itu, tentu kampanye pemilu diharapkan pula berlangsung secara damai agar kegembiraan tidak hanya dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu saja, melainkan seluruh warga negara tanpa terkecuali yang terlibat didalamnya. Jika harapan itu berwujud faktual, maka esensi pemilu sebagai sarana integrasi bangsa telah diraih. Jika sudah diraih seperti itu, maka tentu kita semua, kedepannya tidak akan lagi berdebat mempermasalahkan panjangnya masa kampanye yang sering disebut sebagai masa yang menggerus kemampuan financial dan bahkan justru menjadi masa yang menggerus nilai persatuan dan kesatuan bangsa sebab menimbulkan perpecahan secara horizontal bahkan hingga perpecahan pada dimensi yang bersifat vertikal seperti helatan kampanye pada pemilu-pemilu sebelumnya. Jadi hari ini, KPU dan jajaran hingga tingkat grassroot sebagai penyelenggara utama sudah seyogyanya memantapkan desain kampanye agar pemilu serentak tahun 2024 menjadi titik awal pembenar bahwa pemilu maupun pemilihan adalah pesta demokrasi karena betul-betul membawa kegembiraan bagi seluruh masyarakat dan sebagai sarana integrasi bangsa karena semua warga negara menyatu, larut dalam kegembiraan tersebut. Tapi lagi dan lagi, bahasan diatas masih tentang harapan dalam narasi baru, namun setidaknya, harapan itu lahir dari optimisme yang tergambar dari gerak KPU RI dan jajarannya hingga PPS sejauh ini dalam menyongsong masa kampanye pada bulan November tahun 2023 mendatang selama 75 hari kedepannya, semoga terwujud dan Indonesia menjadi negara pertama didunia yang mampu menyelenggarakan pemilu serentak dan berlangsung sukses, damai serta menyerbakkan kegembiraan bagi semua. Sleman (Yogyakarta), 18 September 2023. Dr. Suardi M, S.Pd.I., M.Pd.I. (Anggota KPU Kab. Gowa/Koordinator Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM) Keterangan: Catatan ini dibuat disela-sela Rapat Koordinasi Internalisasi PKPU Kampanye dan Dana Kampanye Bersama KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota Gelombang III yang diselenggarakan oleh KPU RI di Kota Sleman, Provinsi Yogyakarta.


Selengkapnya