
Paradigma Baru Pribadi Profesional Penyelenggara Pemilu
Tahapan pemilihan umum serentak tahun 2024 telah melewati setengah jalan, artinya titik puncak "hari pemungutan suara" sudah semakin dekat yang membuat penanggungjawab utama "panitia hajatan" yang dalam hal ini adalah komisi pemilihan umum dan jajaran semakin menjadi sosok terpantau oleh masyarakat umum untuk memastikan hajatan rutin lima (5) tahunan tersebut dapat berjalan sebagaimana azas dan prinsipnya.
Situasi dan kondisi demikian tentu membuat para penyelenggara pemilu, mulai dari tingkat pusat (KPU) hingga tingkat terdepan (KPPS) nantinya tidak boleh lengah sedikit pun yang dalam artian, jangan karena kelelahannya lalu menjadi alasan untuk keluar dari rel azas dan prinsip penyelenggaraan pemilu hingga membuat jati diri profesionalnya tertanggalkan disisi jalan. Hal itu tentu bukan hal yang mudah, bahkan bisa saja menjadi sangat sulit karena tekanan dari semua dimensi, baik itu dimensi intrinsik (dalam diri) maupun karena dimensi ekstrinsik (pihak lain).
Olehnya karena itu, menjadi sangat perlu untuk membuka, mengingat, merefresh kembali jati diri yang telah diikat sumpah/janji penyelenggara terkait profesionalitas pribadi seorang penyelenggara pemilu yang setidaknya, secara garis besar yang kemudian oleh penulis memberinya istilah sebagai paradigma baru, yaitu terkait leadership, integritas, dan tanggungjawab sosial, karena ketiga hal tersebut tidak hanya mencakup ruang lingkup kontrak kerja sebagai penyelenggara tetapi jauh lebih dari itu karena hingga hal yang mencakup ruang lingkup komitmen kebangsaan.
Garis besar nilai itu menjadi paradigma baru karena sudah saatnya dan memang sudah seharusnya, pekerjaan yang menjadi tanggungjawab penyelenggara pemilu tidak hanya sekedar dipandang sebagai pemenuhan kinerja secara administratif melainkan harus pula dipandang bahwa tanggungjawab sebagai penyelenggara pemilu adalah merupakan tanggungjawab kebangsaan yang lahir karena kesadaran profesional pribadi sebagai bagian dari sumber daya seorang manusia (anak bangsa).
Jika kita semua sepakat akan hal itu, selanjutnya diskursus terkait tiga hal tersebut (leadership, integritas, dan tanggungjawab sosial) perlu terus dibangun agar terotimasi sebagai tools refreshing dalam rangka penguatan profesionalitas diri seorang penyelenggara pemilu. Misalnya terkait dengan profesionalitas pertama "leadership", bahwa seorang penyelenggara pemilu bukan hanya sekedar pekerja yang bermindset bawahan tetapi harus memandang diri sebagai seorang leader yang bertugas melayani segenap komponen masyarakat. Sikap itu beralasan karena memang setiap penyelenggara pemilu disemua tingkatan pasti akan menjalankan fungsi manajerial dalam bekerja melayani masyarakat untuk mensukseskan pemilu, jika tidak, maka sangat besar kemungkinan pelaksanaan tahapan akan berantakan dan menghambat pencapaian schedule yang telah ditetapkan.
Kedua, integritas, sebagai nilai yang mau tidak mau pula harus dijunjung tinggi oleh setiap penyelenggara pemilu karena jika integritas hilang, maka bukan hanya tidak berlaku adil kepada peserta pemilu atau masyarakat pemilih, namun dampaknya jauh lebih dari itu karena sangat bisa menimbulkan bibit hingga bom perpecahan antara anak bangsa (disintegrasi), terlebih lagi kodrat Indonesia yang dititipkan ilahi, ia sebagai bangsa majemuk, pluralistik. Maka demi kedamaian masa depan peradaban Indonesia, integritas menjadi nilai harga mati yang meski hanya secuil pun tidak boleh lagi untuk ditawar bahkan dengan dalih pertalian darah dan dendam membara pada peserta pemilu, termasuk masyarakat pemilih.
Ketiga, tanggungjawab sosial, nilai ini memang terkesan tidak memiliki relasi dengan azas dan prinsip penyelenggaraan, namun satu hal yang perlu ditekankan bahwa seorang penyelenggara pemilu yang tidak meneguhkan nilai tersebut kedalam dirinya maka sudah barang tentu ia akan menganggap bahwa menjadi penyelenggara pemilu adalah pekerjaan yang hanya berdampak materil bagi kehidupan pribadi dan mengesampingkan bahkan membuang jauh cita-cita kebangsaan yang harusnya diemban oleh setiap anak bangsa Indonesia termasuk melalui amanah sebagai penyelenggara pemilu ditingkatan apapun, sehingga nilai tanggungjawab sosial tersebut menjadi sangat perlu untuk ditekankan bagi setiap penyelenggara pemilu agar memaknai pemilu sebagai sarana integrasi bangsa dan dirinyalah yang menjadi sebagai aktor utama untuk mewujudkan itu.
Paradigma baru profesionalitas penyelenggara pemilu tersebut oleh penulis, berangkat dari falsafah sikap "KPU melayani, Pemilu sebagai sarana integrasi bangsa, dan sikap memilih untuk Indonesia" yang didalamnya berdasarkan dan untuk Indonesia kedepan yang dicita-citakan seperti yang dimaktubkan didalam Pancasila dengan berdasar pada keyakinan, kemudian diikat oleh nilai kemanusiaan, dilaksanakan melalui persatuan, dengan cara mufakat, untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Membuat paradigma tersebut sangat patut diatensi oleh segenap jajaran Komisi Pemilihan Umum.
Kota Batu (Jawa Timur), 9 Agustus 2023.
Salam hormat,
Dr. Suardi Mansing, S.Pd.I., M.Pd.I
(Anggota KPU Kab. Gowa/Koordinator Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan Sumber Daya Manusia)
Keterangan: Tulisan ini disusun disela-sela Rapat Koordinasi Evaluasi Pembentukan Badan Adhoc Pemilu Tahun 2024 Gelombang II yang diselenggarakan oleh KPU RI di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur.